Pendahuluan
Apabila sebuah gedung rubuh
karena fondasi yang tidak kuat, kerugiannya hanya sebatas materisaja, namun
apabila kurikulum pendidikan rusak karena tidak memiliki landasan yang kuat dan
tepat, kerugiannya tidak ternilai karena menyangkut dengan pembentukan siswa
yang berujung pada kegagalan pembentukan karakter manusia dalam masyarakat.
Agar kurikulum mampu berdiri
tegak, yaitu kurikulum yang dikembangkan mampu mengembangkan potensi peserta
didik, menciptakan para siswa agar bisa sesuai dengan harapan masyarakat, dapat
menjadi inspirasi bagi pembaharuan (inovasi) kearah yang lebih baik, maka
kurikulum harus dikembangkan dengan menggunakan fondasi (Landasan) yang
kuat dan tepat, bahkan harus lebih kuat dan tepat dibandingkan dengan landasan
yang dipakai untuk membangun sebuah gedung. Oleh karena itu landasan yang
digunakan untuk mengembangkankan kurikulum harus dicari dengan seleksi yang
ketat agar menghasilkan landasan yang kuat dan tepat. Setidaknya ada 4 landasan
yang harus dijadikan acuan dalam mengembangkan kurikulum, yaitu:
1. Landasan filosofis
2. Landasan psikologis
3. Landasan sosiologis
4.
Landasan
Organisatoris
Landasan
Sosiologis Pengembagan Kurikulum
Sosiologi
adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki berbagai gejala sosial hubungan antar
individu, antar golongan, antar lembaga sosial atau masyarakat. Di dalam
kehidupan kita tidak hidup sendiri, namun hidup dalam suatu masyarakat. Dalam
lingkungan itulah kita memiliki tugas yang harus dilaksanakan dengan penuh
tanggung jawab sebagai bakti kepada masyarakat yang telah memberikan jasanya
kepada kita.
Pendidikan
adalah proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pendidikan
adalah proses sosialisasi melalui interaksi antarmanusia menuju manusia yang
berbudaya. Tiap masyarakat memiliki norma dan adat kebiasaan yang harus
dipatuhi. Norma dan adat kebiasaan tersebut memiliki corak nilai yang
berbeda-beda, selain itu masing-masing dari kita juga memiliki latar belakang
kebudayaan yang berbeda. Dalam konteks inilah peserta didik dihadapkan pada
budaya manusia, dibina dan dikembangkan sesuai dengan nilai budayanya, serta
dipupuk kemampuan dirinya menjadi manusia yang berbudaya. Hal inilah yang
menjadi pertimbangan dalam pengembangan sebuah kurikulum, termasuk perubahan
tatanan masyarakat akibat perkembangan Ilmu Pengetahan dan Teknologi (IPTEK).Sehingga
masyarakat dijadikan salah satu asas dalam pengembangan kurikulum, begitu pula
dengan IPTEK. Oleh karena itu dibutuhkan landasan sosiologi dan IPTEK dalam
membangun kurikulum.
Menurut
Nana Syaodih ada tiga alasan penting program pendidikan menggunalan landasan
Sosiologis, yaitu.
1.
Pendidikan
mengandung nilai dan memberikan pertimbangan nilai yang ada dan diharapkan
masyarakat
2.
Pendidikan
bukan hanya untuk pendidikan, tetapi menyiapkan anak untuk kehidupan dalam
masyarakat
3.
Pelaksanaan
pendidikan dipengaruhi dan didukung oleh lingkungan masyarakat tempat
pendidikan berlangsung.
Dilihat dari substansinya
faktor sosiologis sebagai landasan dalam mengembagkan kurikulum, dapat
diuraikan menjadi dua sisi. Yaitu dari sisi kebudayaan dan kurikulum serta dari
unsur masyarakat dan kurikulum.
a.
Kebudayaan dan Kurikulum
Factor
kebudayaan merupakan bagian penting dalam pengembangan kurikulum dengan
pertimbangan:
1) Individu lahir tidak
berbudaya, baik dalam hal kebiasaan, cit-cita, sikap, pengetahuan,
keterampilan, dll. Semua itu dapat dperoleh inividu melalui interaksi dengan
lingkungan budaa, keluarga, , masyarakat sekitar, dan sekolah/lembaga
pendidikan. Oleh karena itu lembaga pendidikan/sekolah memiliki tugas khusus
untukmemberikan pengalaman kepada para peserta didik dengan kurikulum.
2) Kurikulum dalam setiap
masyarakat pada dasarnya merupkan refleksi dari cara orang berpikir,
berperasaan, bercita-cita, atau kebiasaan. Karena itu dalam mengembangkan
kurikulum perlu memahami kebudayaan. Kebudayaan adalah pola kelakuan yang
secara umum terdapat dalam suatu masyarakat yang meliputi keseluruhan ide, cita-cita,
pengetahuan, kepercayaan, cara berpikir, kesenian, dan sebagainya. Karena
setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda, maka kurikulum setiap daerah
pun berbeda-beda sesuai kebudayaan masing-masing daerah.
3) Seluruh nilai yang telah
disepakati masyarakat dapat pula disebut kebudayaan. Kebudayaan adalah hasil
dari cipta, rasa, dan karsa manusia yang diwujudkan dalam tiga gejala, yaitu:
a) Ide, konsep, gagasan, nilai ,
norma, peraturan, dll. Wujud kebudayaan ini bersifat abstrak dan adanya dalam
pikiran manusia.
b) Kegiatan. Yaitu tindakan
berpola dari manusia dalam bermasyarakat. Tindakan ini disebut sistem sosial,
aktivitas manusia sifatnya nyata, dapat dilihat. Tindakan berpola manusia tentu
didasarkan oleh wujud kebudayaan yang pertama. Artinya, system social dalam
bentuk aktivitas manusia merupakan perwujudan dari ide, konsep, gagasan, nilai
dan norma yang telah dimilikinya.
c) Benda hasil karya manusia.
Wujud kebudayaan yang ketiga ini ialah seluruh fisik perbuatan atau hasil karya
manusia di masyarakat . wujud kebudayaan yang ketiga ini merupakan produk dari
wujud kebudayaan yang pertama dan kedua.
Secara
umum pendidikan pada dasarnya bermaksud mendidik anggota masyarakat agar dapat
hidup berintegrasi dengan anggota masyarakat lainnya. Hal ini membawa
pernyataan bahwa kurikulum sebagai salah satu alat mencapai tujuan pendidikan
bermuatn kebudayaan yang bersifat umum pula, seperti: Nilai-nilai, sikap,
pengetauan, kecakapan dan kegiatan yang bersidat umum yang sangat penting bagi
kehidupan masyarakat. Selain pendidikan yang bermuatan kebudayaan yang bersifat
khusus, yaitu untuk aspek-aspek kehidupan tertentu dan berkenaan dengan
kelompok yang sifatnya vokasional. Keadaan seperti itumenuntut kurikulum yang
bersifat khusus pula. Misalnya untuk pendidikan vokasional biasanya berkenaan
dengan latar belakang pendidikan, status ekonomi, dan cita-cita tertentu
sehingga mempunyai batas waktu dan daerah ajar yang tertentu pula.
b.
Masyarakat dan kurikulum
Masyarakat
adalah suatu kelompok individu yang diorganisasikan mereka sendiri kedalam
kelompok berbeda. Dilihat dari definisi tersebut,maka kebudayaan dapat
dibedakan dengan istilah masyarakat yang mempunyai arti suatu kelompok individu
yang teroganisir yang berpikir tentang dirinya sebagai suatu yang berbeda
dengan kelompok atau masyarakat lainnya.
Tiap
masarakat memiliki kebudayaan sendiri, dengan demikian yang membedakan
masyarakat yang satu dengan yang lainnya adalah kebudayaan. Apa yang menjadi
keyakinan pemikiran seseorang, reaksi terhadap perangsang sangat tergantung
kepada kebudayaan dimana ia dibesarkan.
Faktor
pengembangan kurikulum dalam masyrakat
Kurikulum
sebagai program pendidikan harus dapat menjawab tantangan dan tuntutan
masyarakat. Ada beberapa faktor yang memberikan pengaruh terhadap pengembangan
kurikulum dalam masyrakat, antara lain:
1) Kebutuhan masyarakat
Tuntutan
masyarakat adalah salah satu dasar dalam mengembangkan kurikulum. Kebutuhan
masyarakat tak pernah tak terbatas dan beraneka ragam. Oleh karena itu lembaga
pendidikan berusaha menyiapkan tenaga-tenaga terdidik yang terampil yang dapat
dijadikan sebagai penggali kebutuhan masyarakat.
2) Perubahan dan perkembangan masyarakat
Masayarakat adalah suatu lembaga yang hidup, selalu
berkembang dan berubah. Para Pembina dan pelaksana kurikulum dituntut lebih
peka mengantisipasi perkembangan masyarakat sesuai dengan IPTEK, agar apa yang
diberikan kepada peserta didik relevan dan dapat berguna bagi kehidupan peserta
didik tersebut di masyarakat.
Perubahan
dan perkembangan nilai yang ada dalam masyarakat sering menimbulkan konflik
antar generasi. Dengan diadakannya pendidikan diharapkan konflik yang terjadi
antar generasi dapat teratasi.
3) Tri pusat pendidikan
Yang
dimaksud dengan tri pusat pendidikan adalah bahwa pusat pendidikan dapat
bertempat di rumah, sekolah , dan di masyarakat. Selain itu mass media, lembaga
pendidikan agama, serta lingkungan fisik juga dapat berperan sebagai pusat
pendidikan.
Ruang
lingkup pengembangan kurikulum dalam masyrakat
Lingkungan
atau dunia sekitar manusia pada dasarnya terdiri dari tiga bagian besar, yaitu
:
1) Dunia alam kodrat
Dunia
alam kodrat merupakan segala sesuatu di luar diri kita yang berpengaruh sangat
kuat dalam kehidupan kita, misalnya : penampakan alam (gunung,laut,dll). Untuk
mengubah dan mengatasi pengaruh tersebut maka kita harus dapat menggunakan
IPTEK dengan benar. Dengan demikian dalam mengembangkan kurikulum hendaknya
kita berusaha untuk memasukkan masalah-masalah yang berupa gejala-gejala dalam
alam kodrat.
2) Dunia sekitar benda-benda buatan
manusia
Dunia
sekitar benda-benda buatan manusia merupakan benda-benda yang diciptakan
manusia sebagai alat pemuas kubutuhannya. Untuk itu keterampilan fisik dan
psikis harus dikembangkan dalam pembelajaran, sehuingga dapat menghasilkan
segala sesuatu yang menjadi sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat.
3) Dunia sekitar manusia
Dunia
sekitar manusia merupakan dunia yang paling kompleks, sebab selalu berubah dan
dinamis. Interaksi antar individu berjalan sangat aktif. Untuk itu
diperlukannya norma dalam pergaulan masyarakat agar interaksi dalat berjalan
dengan baik.
Fungsi
sistem dan lembaga pendidikan dari segi sosiologis bagi kepentingan masyarakat
Dari
segi sosiologis sistem dan lembaga pendidikan di dalamnya dapat dipandang
sebagai badan yang mempunyai berbagai fungsi bagi kepentingan masyarakat,
antara lain:
1)
Mengadakan perbaikan, bahkan perombakan
sosial
2)
Mempertahankan kebebasan akademis dan
kebebasan mengadkan penelitian ilmiah
3)
Mendukung dan turut memberi sumbangan
kepada pembangunan nasional
4)
Menyampaikan kebudayaan dan nilai-nilai
tradisional
5)
Mengeksploitasi orang banyak demi
kesejahteraan dolongan elite
6)
Mewujudkan revolusi sosial untuk
melenyakan pengaruh pemerintahan terdahulu
7)
Mendukung golongan tertentu seperti
golongan militer, industri atau politik
8)
Mengarahkan dan mendisiplinkan jalan
pikiran generasi muda
9)
Mendorong dan mempercepat laju kemajuan
IPTEK
10) Mendidik
generasi mudamenjadi arga negara nasional dan warga dunia
11) Mengajar
keterampilan pokok seperti membaca, menulis, dan berhitung
12) Memberi
keterampilan dasar berkaitan dengan mata pencaharian.
Penerapan
Landasan Sosiologis pengembangan kurikulum di Indonesia
Karena
keadaan masyarakat di setiap daerah berbeda, maka kurikulumnya pun berbeda.
Seperti kurilulum sekolah yang berada di pusat kota/perkotaan pastinya berbeda
dengan kurikulum sekolah yang ada di desa. Karena harus sesuai dengan kebutuhan
dan keadaan masing-masing daerah tersebut. Berikut adalah artikel contoh
keadaan pendidikan di pedesaan.
“Sekolahnya Orang Desa”
Perhatian
pemerintah yang sangat berlebihan terhadap pembangunan di wilayah perkotaan,
mengakibatkan arus urbanisasi penduduk pedesaan ke kota-kota besar terus
meningkat tajam setiap tahunnya. Ketidakmampuan desa untuk berhadapan dengan
pesatnya kemajuan kota salah satunya diakibatkan oleh kelemahan sistem
pendidikan yang ada di desa itu sendiri. Seringkali pengembangan pendidikan
yang diterapkan di sekolah-sekolah desa banyak yang tidak disesuaikan terlebih
dahulu dengan kebutuhan yang ada di dalam masyarakat. Bahkan yang lebih
memprihatinkan dalam penyusunan kurikulum terkadang disamakan dengan
pengembangan kurikulum di sekolah-sekolah kota. Hal ini kemudian menyebabkan
sekolah-sekolah di pedesaan menjadi tidak mungkin mampu dalam menjawab
tantangan serta peluang kerja yang ada di daerahnya sendiri. Akhirnya muncul
kecenderungan bila ada seorang anak desa yang terdidik, maka ia akan enggan untuk
bekerja di desanya dan selanjutnya lebih memilih pergi untuk mencari pekerjaan
yang lebih menjanjikan ke kota.
Untuk
mengatasi permasalahan disparitas antara desa dan kota di atas, sebetulnya
pemerintah telah menstimulusnya dengan mengeluarkan kebijakan desentralisasi
pendidikan yang berada satu paket dengan pelaksanaan otonomi daerah. UU No. 22
tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah telah menuntut dilaksanakannya otonomi daerah dan wawasan
demokrasi, termasuk dalam penyelenggaraan pendidikan. Regulasi ini pun
berpengaruh pada sistem pendidikan nasional dari sistem sentralisasi ke bentuk
desentralisasi. Desentralisasi penyelenggaraan pendidikan ini juga terwujud
dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam
kurikulum nasional yang berlaku saat ini (KTSP 2006), sekolah dan komite
sekolah diberi kewenangan yang luas untuk mengembangkan dan menyelenggarakan
pendidikan sesuai dengan kondisi peserta didik, keadaan sekolah, potensi dan
kebutuhan daerah. Maka dari itu, fokus pengembangan kurikulum sekolah
khususnya di wilayah pedesaan akan lebih efektif apabila dikhususkan kepada
pembentukan sekolah-sekolah berbasis masyarakat (community based school).
Sekolah berbasis masyarakat merupakan pengelolaan sekolah dengan melibatkan
partisipasi segenap masyarakat yang ada di sekitar lingkungan sekolah.
Penyelenggaran sekolah berbasis masyarakat merupakan salah satu dari
manifestasi dari desentralisasi pendidikan dan konsep otonomi daerah. Hal ini berarti
peranan pemerintah akan dikurangi dan akan memperbesar partisipasi masyarakat.
Dengan demikian peran serta masyarakat dalam pendidikan sangat dibutuhkan untuk
menyempurnakan peran yang sudah ada dengan lebih terarah dan terencana dengan
baik sehingga kepedulian masyarakat terhadap pendidikan meningkat lebih tinggi.
Penyelenggaraan
pendidikan di masyarakat pedesaan diharapkan bisa menerapkan sistem
pembelajaran di luar kelas, salah satu alternatif kreatifnya adalah dengan
menyelenggarakan model Connecting Intermoda, yaitu dengan belajar
langsung mengambil tempat di pusat-pusat kegiatan masyarakat. Selain di lokasi
sekolah sendiri, tempat-tempat yang bisa dijadikan sebagai wahana belajar
adalah: kantor pemerintahan, kepolisian, puskesmas, areal persawahan dan
perkebunan, pasar rakyat, industri rumahan, obyek wisata lokal, dan di
tempat-tempat lain yang relevan dengan pembelajaran. Pengenalan keadaan
lingkungan, sosial, dan budaya kepada peserta didik memungkinkan mereka untuk
lebih mengakrabkan dengan lingkungannya. Pengenalan dan pengembangan lingkungan
melalui pendidikan diarahkan untuk menunjang peningkatan kualitas sumber daya
manusia, dan pada akhirnya diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta
didik.
Pengembangan
konsep sekolah berbasis masyarakat dilatar belakangi oleh filosofi bahwa
pendidikan adalah sebuah entitas yang tidak bisa berdiri sendiri dan mesti
ditopang oleh berbagai elemen masyarakat. Pemerintah tidak mungkin
dapat bekerja sendiri dalam meningkatkan kualitas mutu pendidikan di desa-desa.
Pendidikan desa tidak mungkin berkembang optimal tanpa adanya partisipasi dari
semua komponen masyarakat. Maka dari itu, pemerintah harus dapat melakukan
mobilisasi sumber daya manusia setempat dan dari luar serta meningkatkan
peranan masyarakat untuk mengambil bagian lebih besar dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi Pendidikan disemua jenjang, jenis dan jalur
pendidikan di desa.
Munculnya
partisipasi masyarakat diharapkan akan pula mendorong perubahan sikap dan
persepsi masyarakat terhadap pendidikan, rasa kepemilikan sekolah, tanggung
jawab kemitraan, toleransi dan kesediaan menerima sosial budaya. Sebab
bagaimanapun juga, sekolah adalah institusi sosial yang berperan strategis
untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat melalui pembentukan generasi muda desa
yang memiliki pola pikir visioner terhadap daerahnya. Untuk mengikat hubungan
antara masyarakat dengan sekolah salah satunya bisa difasilitasi dengan
mengembangkan kurikulum lokal (baca: Muatan Lokal / MULOK) yang berguna bagi
kebutuhan masyarakat di wilayahnya, sehingga tercipta sistem pendidikan
yang link and match. Ketika hubungan antara sekolah dan masyarakat
dapat saling bekerjasama secara sinergis, maka fungsi dan manfaat pendidikan
secara otomatis akan semakin menguatkan kualitas hidup masyarakat pedesaan.
Begitu pun sebaliknya, kegagalan sinergisasi antara sekolah dengan masyarakat,
ujung-ujungnya hanya akan semakin mempertinggi angka urbanisasi kaum terpelajar
dari pelosok desa ke kota-kota besar.(Agung Pardini)
Kemudian
ada satu artikel yang menyatakan bahwa pada tahun 2011 di Papua pengetahuan
tentang HIV-AIDS telah masuk ke dalam kurikulum di setiap jenjang pendidikan
(mulai dari SD hingga SMA), hal ini karena penyebaran virus HIV di papua sudah
tingi mengingat keadaan di papua yang masih “primitive”.
“Pengetahuan HIV-AIDS Masuk Kurikulum
di Papua”
JAKARTA,
(PRLM).- Penyebaran HIV-AIDS di Papua saat ini sudah mencapai tahap epidemi,
karena tidak lagi hanya menyebar di kalangan risiko tinggi, tetapi juga sudah
menyebar ke kelompok-kelompok lain seperti ibu rumah tangga dan juga anak-anak
muda di Papua.
Demikian
menurut Deputi Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Bidang Program,
Fonny J. Silfanus, yang menanggapi dengan positif dimasukannya HIV-AIDS dalam
kurikulum sekolah di Papua. Menurutnya, ini sangat penting untuk menekan laju
penyebaran HIV-AIDS di wilayah tersebut.
Dinas
Pendidikan Provinsi Papua memasukan HIV-AIDS dalam kurikulum sekolah untuk
tingkat sekolah dasar (SD)hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).
Fonny
J. Silfanus mengatakan, "Dibanding provinsi lain tingkat epidemi di Papua
bisa disebut generalized epidemic, karena sudah di atas 2,4 persen, sedangkan
di provinsi-provinsi di luar Papua masih di bawah satu persen. Jadi masih
rendah. Remaja juga harus diberikan pengetahuan, pengetahuan tentang HIV-AIDS,
karena kita harus mencegah jangan sampai jatuh ke perilaku beresiko."
Sebagian
besar kasus penularan HIV-AIDS di Papua terjadi melalui hubungan seksual.
Fonny
J. Silafanus menambahkan pihaknya saat ini terus melakukan sosialisasi kepada
masyarakat luas di Papua tentang bahaya penyakit HIV-AIDS ini. Selain itu,
Komisi Penanggulangan AIDS juga melakukan sosialisasi tentang penggunaan kondom
di wilayah tersebut, karena saat ini penggunaan kondom di Papua masih sangat
rendah.
"Penanganan
HIV-AIDS di provinsi lain masih diprioritaskan kepada kelompok yang kita tahu rawan
berisiko. Tetapi, di Papua penanganannya harus ditingkatkan ke seluruh
masyarakat umum, jadi sosialisasi ke masyarakat umum lebih ditingkatkan,"
kata Fonny J. Silafanus, yang dikutip "VOA".
Kerja
sama dengan sektor agama dan penggunaan kondom masih rendah sekali, menurut
Silafanus, yaitu masih sekitar 30 persen. Tujuh puluh persen sisanya,
tambahnya, tidak memakai kondom secara konsisten, sehingga penularan terus
terjadi.
Komisioner
Komnas Perempuan Sylvana Maria Apituley mendesak pemerintah agar serius
menangani permasalahan HIV-AIDS di Papua yang sudah sangat tinggi. Ia
mengatakan, "Perempuan muda, ibu-ibu menjadi ODHA (orang yang hidup dengan
AIDS) dan sangat rentan menjad ODHA dan tingkat penyebaran di Papua adalah 16
kali lipat tingkat penyebaran nasional. Jadi, kondisi ini sudah sangat
serius."
Data
dari Kementerian Pendidikan Nasional menyatakan bahwa dari 33 provinsi di
Indonesia, baru provinsi Papua yang telah mengembangkan kurikulum HIV-AIDS.
Kesimpulan
Landasan Sosiologis itu penting dalam
pengembangan kurikulum karena pada akhirnya peserta didik akan kembali ke
masyarakat, sehingga peserta didik harus dididik agar dapat menjadi masyarakat
yang berbudaya untuk diterima di lingkungannya. Setiap daerah berbeda-beda
keadaan masyarakatya, kebutuhannya, dan budayanya, sehingga kurikulum setiap
daerah pun seharusnya berbeda menyesuaikan daerah tersebut, untuk itu perlu
adanya landasan sosiologis dalam mengembangkan kurikulum.
Sources:
Sukirman, Dadang. 2007. Landasan Pengembangan Kurikulum (PDF). Bandung.
http://rizcafitria.wordpress.com/2010/07/05/landasan-sosiologis-pengembangan-kurikulum/
Dakir,H. 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka
Cipta
Nasution,S. 1989. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara
_________.1989. Kurikulum dan Pengajaran 2. Jakarta: Bina
Aksara
Soetopo,Hendyat,dkk.
1993. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Bumi
Aksara
(BY: KEL PIP)
idaaka.blogspot.com